MEDAN-SUMBER
Kondisi kinerja keuangan Bank Sumut menurun ditandai dengan memburuknya non performing loan (rasio kredit macet/NPL) yang mencapai 5,46 persen dan ini adalah yang terburuk dalam 12 tahun terakhir, kata eksekutif bank milik pemerintah daerah itu.
Menurut Pindiv SDM Bank Sumut, Bahrein H Siagian mengungkapkan rasio NPL gross posisi Juni 2014 sebesar 5,46 persen ini adalah NPL terburuk dalam kurun waktu dua belas tahun terakhir. Pada saat masuknya seorang direksi baru Juni 2013 lalu, posisi NPL masih 3,70 persen. Setelah itu NPL tidak pernah membaik, bahkan dari waktu ke waktu memburuk hingga akhirnya sekarang telah menembus di atas 5 persen,“ ungkap Bahrein.
Dia menegaskan pertumbuhan kredit Bank Sumut yang hanya 5,06 persen (YoY) jauh dibawah pertumbuhan kredit BPD lainnya, misalnya kredit Bank Jatim tumbuh 21,48 persen (YoY) dan Bank DKI yang tumbuh 31,12 persen (YoY). Tingkat pertumbuhan kredit menunjukkan tingkat kepercayaan nasabah kepada Bank Sumut dalam mengelola dana, terutama nasabah tabungan dan deposito.
Meskipun Dana Pihak Ketiga (DPK) Bank Sumut posisi Juni 2014 sebesar Rp20,1 triliun atau tumbuh 10,78 persen (YoY), namun pertumbuhan DPK itu karena meningkatnya dana giro yang didominasi giro pemerintah/pemda sebesar Rp9,5 triliun atau tumbuh 21,69 persen (YoY) dari Juni 2013 sebesar Rp7,8 triliun.
Pertumbuhan kredit yang sangat kecil mengakibatkan rasio LDR Bank Sumut per Juni 2014 turun menjadi 82,89 persen dari sebelumnya posisi Juni 2013 sebesar 90,93 persen. Ketidakmampuan ekspansi kredit itu ternyata juga diikuti dengan semakin memburuknya rasio kredit bermasalah (NPL Gross) yang pada posisi Juni 2014 sudah menembus batas threshold OJK yaitu per Juni 2014 sebesar 5,46 persen dari sebelumnya posisi Juni 2013 sebesar 3,70 persen.
“Meski NPL Bank Sumut masih di bawah batas rasio NPL sesuai ketentuan BI yang maksimal lima persen, tetapi dinilai cukup tinggi. Apalagi NPL yang besar itu dari sektor produktif,” kata Pemimpin Bank Indonesia (BI) Wilayah IX Sumut-Aceh Hari Utomo kepada wartawan, kemarin.
Dia mengatakan itu pada Rapat Umum Pemegang Saham Tahun Buku 2012 dan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa PT Bank Sumut. Semakin dinilai mengkhawatirkan karena kredit Surat Perintah Kerja (SPK) juga meningkat. Padahal harusnya itu tidak terjadi karena SPK di bawah kendali pemerintah kabupaten/kota. BI juga mengingatkan pertumbuhan aset Bank Sumut yang masih rendah baik dibandingkan bank di Sumut maupun secara nasional.
Menurut Pengamat ekonomi Sumut/IAIN SU/LP3I Medan & Analis Ekonomi di salah satu sekuritas BUMN di Kota Medan, Gunawan Benjamin mengatakan Non performing loan (NPL) gross Bank Sumut sebesar 5.46% menurut saya cukup besar. karena lewat dari 5%. Kredit macet yang cukup tinggi di Bank Sumut pada umumnya juga terjadi di sejumlah Bank lain karena memang kenaikan suku bunga acuan akhir-akhir ini yang saat ini bertengger di level 7.5% disisi lain juga berpeluang menciptakan NPL yang tinggi. .
“Upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membentuk tim khusus yang menuntaskan masalah kredit macet sehingga bisa diupayakan untuk terus ditekan. Ada cara yang lebih mudah lagi sebenarnya, yakni menggelontorkan kredit, sehingga rasio NPL-nya secara otomatis akan mengecil. Namun, tidak bisa dilakukan secara serampangan terlebih BI juga tengah memperketat penyaluran kredit saat ini,” katanya.
Apabila OJK berpendapat bahwa Bank Sumut masih dalam kondisi baik karena NPL Netto nya masih di bawah 5%. Namun saya menilai NPL gross di atas 5% tersebut merupakan kondisi yang tidak normal, butuh penanganan khusus. Pengalaman Bank-bank besar dalam menangani NPL di atas 5% adalah membentuk task force (tim khusus) yang ditugaskan untuk mengeksekusi kredit macet tersebut. Saat NPL sudah mampu ditekan dibawah 3% tim tersebut bisa dibubarkan dan kondisi kredit macet sudah normal kembali.
“Namun ini tidak bisa dilakukan semudah membalikan telapak tangan, berkaca kepada Bank yang telah berhasil menekan NPL dibutuhkan rata-rata waktu sekitar 2 hingga 3 tahun. Bahkan tidak sedikit yang butuh waktu satu periode (5 tahun),” ungkapnya.
Dia menjelaskan menganalisa kredit macet yang timbul ini mencuat sejak 2 atau 3 tahun lalu. Disaat itu, cabang pembantu memiliki kewenangan tersendiri dalam menyalurkan kredit mengacu kepada pagu yang diberikan. Dan sayangnya di sekitar tahun 2012 hingga 2013 Bank Sumut hanya dipimpin oleh dua direksi saja.
Sehingga pengawasan untuk sejumlah cabang tersebut lemah karena fungsionaris pengurus “(direksi) jumlahnya sangat sedikit sekali. Sehingga perlu untuk meningkatkan fungsi pengawasan di saat kondisi Bank Sumut tengah terjebak dengan NPL yang tinggi seperti saat ini. Karena kredit macet ini angkanya di atas 1.5 Triliun,” paparnya.
Selain itu segera isi kekosongan Dirut yang masih berlangsung hingga hari ini. Berkaca kepada pengalaman semakin sedikit Direksi yang menjabat semakin rentan Bank Sumut terjebak dalam kredit macet. Dirinya, tidak setuju bila penilaian baik oleh OJK justru direspon dengan tidak melakukan apapun untuk menekan NPL tersebut.
“Hindari fraud kemungkinan penyaluran kredit yang potensi gagal bayarnya besar. Tidak ada salahnya Bank Sumut juga belajar dari pengalaman Bank Besar yang mampu menekan NPL,” tambahnya. (SB 06)