SALUT. Kata ini rasanya pantas untuk menggambarkan ‘ilmu’ Bupati Simalungun, Jopinus Ramli (JR) Saragih dalam menangkis berbagai kasus dugaan korupsi yang melibatkannya. Buktinya, walau sudah bertahun dilaporkan ke Kepolisian Daerah Sumatera Utara (Poldasu) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), namun orang nomor satu di kabupaten yang beribukota Pematangraya ini masih tetap berkuasa di ‘kerajaan’ nya.
Imbasnya, asumsi miring dilayangkan berbagai pihak kepada Poldasu dan KPK. Kedua lembaga ini dianggap tidak kredibel dalam menjalankan tugasnya. Tak hanya itu, kedua lembaga ini juga dituding telah menjadikan JR Saragih ‘mesin ATM’ berjalan.
“Patut diduga juga seperti itu. Bisa jadi tidak diproses karena telah dijadikan ‘mesin ATM’ berjalan,” ucap Muslim Muis, pengamat hukum yang juga menjabat Direktur Pusat Studi Hukum dan Pembaharuan Peradilan (PusHpa).
Untuk itu, guna menepis predikat kurang baik sikap dingin yang ditunjukkan kedua lembaga ini, Poldasu dan KPK ditantang untuk segera memeriksa Bupati Simalungun yang diduga terlibat dalam sejumlah kasus korupsi.
“Kalau berani mereka (KPK dan Poldasu) kita lihatlah seminggu ini apa perkembangannya. Kalau tidak ada, berarti benar jika mereka memang gak berani dan telah menjadikan dia (JR Saragih) sebagai ATM berjalan,” tantang Muslim Muis.
Tidak diprosesnya kasus dugaan korupsi Bupati Simalungun oleh Poldasu dan KPK, juga disesalkan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Sumut. Bahkan lembaga ini menyatakan kalau hukum di Sumatera Utara hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
“Pola penanganan kasus korupsi yang terjadi selama ini terkesan tertutup. Perkembangan kasusnya nyaris tanpa diketahui masyarakat. Jika pun ada masyarakat yang ingin mengetahui perkembangan kasusnya, akan dijawab, akan mengganggu penyidikan. Jadi wajar bila masyarakat menganggap hukum di Sumut tumpul ke atas, tapi tajam ke bawah,” ujar Rurita Ningrum, Sekretaris FITRA.
Berkaca dari kasus JR Saragih sikap apatis pun ditunjukkan Rurita. Ia memperkirakan, tidak tertutup kemungkinan kasus tersebut akan mengendap alias tidak diproses. Sebab, dalih yang dikemukakan aparat penegak hukum selama ini dinilai sangat klasik, yakni karena tidak adanya penyalahgunaan anggaran dan wewenang, serta kerugian negara
atau daerah. “Yang lebih parah, lama kelamaan kasus akan mengendap. Maka wajar jika akhirnya kita menganggap terjadi konspirasi dalam penanganan dugaan kasus korupsi yang melibatkan Bupati Simalungun. Padahal jelas-jelas ada penyalahgunaan anggaran dan wewenang, tapi diabaikan dengan dalih tidak ada kerugian,” beber Rurita.
Berkaitan dengan hal tersebut, lanjutnya, sangat wajar bila masyarakat mencurigai Poldasu dan KPKn telah tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi. Sebab menurutnya, KPK yang sejauh ini menjadi institusi penegak hukum yang paling dipercaya masyarakat, ternyata masih bisa khilaf alias melalui kesalahan.
“Jika KPK belum turun, bisa saja kasus ini dianggap tidak ‘besar’ atau ada alasan lain. Namun jika berkaca dari kasus Nazaruddin, kita pun wajar mulai mencurigai penyidik KPK juga bisa khilaf. Maka, ada baiknya kasus korupsi agar menjadi konsumsi publik sebagai efek jera untuk dipermalukan melalui transparansi perkembangan kasus,” jelasnya mengakhiri. (SB 02)