TANAH KARO – SUMBER
Sumatera Utara sangat dikenal dengan kain adat yang dinamai Ulos. Kain Ulos berasal dari daerah Samosir dan banyak dikerjakan di kawasan Pangururan yang terletak sangat dekat dengan Danau Toba. Di daerah ini, pengerjaan Ulos hingga kini masih menggunakan alat tenun gedogan.
Jika ditilik lebih dalam, masyarakat Sumatera Utara khususnya di daerah Karo juga mempunyai kain adat yang dinamakan Uis Karo. Uis ini identik dengan motif yang ada pada rumah adat Karo. Salah satu motif yang kita temui adalah Pengeret-ret (gambar dari binatang cecak yang melekat di dinding rumah adat Karo).
Adalah Sahat Tambun, pria kelahiran Kabanjahe 61 tahun lalu dan memiliki tiga orang anak. Beliau merupakan seorang pengusaha tenun “Trias Tambun” di daerah Kabanjahe, Tanah Karo. Beliau telah mendalami ilmu tentang kain bertahun-tahun. Setelah lulus sekolah menengah umum, ia melanjutkan studinya ke Institut Teknologi Tekstil (ITT) Bandung (sekarang STTT), dan selesai pada tahun 1988.
Berbekal ilmu yang ia miliki saat mengecap pendidikan, Sahat Tambun mulai mencoba dan memahami tentang kain adat dari daerahnya sendiri. Ia pun mempelajarinya di tanah kelahirannya, Tanah Karo Simalem.
Pada tahun 1992, Sahat memulai usahanya dengan satu unit ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Alat manual ini dipakai dalam pengerjaan kerajinan tenun miliknya, yang ia buat dibantu beberapa tukang. Selain kemampuan menghasilkan produksi yang tinggi, mutu kain yang dihasilkan juga baik. Itulah alasan mengapa Sahat memilih alat tenun ini.
“Kita tidak membuat uis dengan gedogan. ATBM dapat menghasilkan uis yang cukup baik. Hasilnya juga tidak kalah bagusnya, penggunaannya juga lebih mudah. Jika memakai gedogan, hanya mampu menghasilkan selembar kain setiap kali penenunan dan memakan tenaga sehingga mudah capek,” tutur Sahat saat disambangi di lokasi tenunnya di kawasan Jalan Sudirman Kabanjahe sebelumnya.
Dalam pemilihan bahan, Sahat tergolong orang yang telaten. Warna, motif dan kerapian sangat diutamakan dalam pengerjaan tenun miliknya. Warna merah kehitam-hitaman (warna gara-gara) banyak dipakai oleh orang Karo dan warna tersebut paling disukai yang dinamai Uis Gara (motif gambar cecak).
Selain Uis diatas, kata pria yang dijuluki “Sang Pawang Uis Karo” ini, masih ada Uis yang diminati masyarakat yakni Beka Buluh (motif seperti belah bambu). Uis ini sering dipakai lelaki Karo pada acara adat sebagai bulang-bulang yang dikenakan di kepala sebagai mahkota. Uis ini juga sering dikenakan di pundak yang dipakai sebagai cengkok-cengkok.
Di tempat usaha tenun andalan daerah Karo ini, juga ada Uis yang dinamakan Ragi Barat (Lurik) yang pengerjaannya dengan cara menghani. Uniknya, Uis ini hanya dapat ditemukan dan hanya di produksi ditempat usaha pertenunan Sahat. Selain itu, masih banyak jenis-jenis Uis lainnya yang ia dikerjakan.
Benang yang merupakan bahan utama dari pembuatan Uis di usaha pertenunan ini digunakan Benang Katun. Dimana, benang ini adalah benang yang paling halus dan sangat cocok sebagai bahan pembuatan Uis ini. Benang yang di produksi langsung dari India inilah yang digunakan oleh Sahat untuk pembuatan kain tenunannya.
Setiap harinya, pelanggan datang untuk membeli kain tenun. Selain untuk keperluan sendiri, banyak juga yang datang dari Pusat Pasar Kabanjahe untuk kemudian dipasarkan kembali. Harga yang ditawarkan kepada pembeli Uis Karo ini cukup bervariasi.
Perlukan konsentrasi, ketelitian, kesabaran dan ketekunan serta tenaga yang terampil dalam proses pengerjaan tenun ini. Tenaga-tenaga pengrajin yang dipekerjakan sudah dilatih setiap hari. Sebanyak 20 orang karyawan, sebagian besar adalah tenaga pengrajin yang berasal dari SMK Negeri 1 Berastagi (lebih dikenal SMIK).
Seiring berkembangnya usaha Trias Tambun, saat ini ia telah memiliki puluhan unit ATBM di tempat usahanya. Artinya, melalui perkembangan itu, setidaknya ia dapat membina dan memperkerjakan orang menjadi tenaga terampil.
Pada tahun 2010, Usaha Trias Tambun yang dipimpin oleh Sahat Tambun memperoleh Penghargaan “Sidakarya” dari Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) yang disampaikan melalui Depnaker. Penghargaan itu berupa alat tenun berukuran besar serta alat khusus pencetak motif yang dapat memproduksi banyak hasil tenun yang dinamai Jacquard.
Alat ini tergolong yang paling canggih diantara seluruh alat tenun yang ada. Yakni memiliki program untuk pembuatan motif pada kain. Dengan alat inilah Sahat membuat motif-motif pada uis Karo. Sahat juga bertekad akan melekatkan seluruh ornamen-ornamen Karo pada uis yang ia tenun. Hal itu tentunya bukan tanpa alasan, mengingat Uis Karo yang selama ini dipasarkan oleh pihak lain, bukanlah ornamen Karo.
Teranyar, Sahat juga telah mampu menenun salah satu jenis Uis yang dinamakan Indung Bayu-Bayu, perpaduan antara uis Karo dan Jawa (Lurik). Uis ini sendiri telah ia sematkan kepada Ibu Bupati Karo pada perayaan 17 Agustus 2014 kemarin dan itu merupakan launching pertama. Kain itu juga turut ia serahkan kepada mantan Gubsu, Gatot Pujo Nugroho, pada tanggal 19 Agustus 2014 lalu di Lapangan Merdeka, Medan.
Meski telah lama menekuni usaha tenunnya, Sahat bukan tidak mempunyai keluhan. Itu disebabkan karena ia baru mampu memasok Uis tersebut untuk Tanah Karo masih mencapai puluhan persen. Itu terkendala akibat minimnya tenaga kerja di usaha pertenunannya.
Disamping itu, raut kekecewaan tergambar di wajah sang motivator tenun ini yakni tenaga terampil yang bekerja sebagai pengrajin. Di tempat usahanya, mayoritas dihuni oleh orang yang bukan asli suku Karo. Kekhawatiran akan punahnya dan dicurinya warisan leluhur Karo ini tampak muncul dibenaknya.
“Ini adalah warisan asli orang Karo. Tapi mengapa pengembangan dan pelastariannya bukan putra-putri Karo?. Di tempat usaha tenun saya ini hanya ada dua orang Karo. Siapa nanti yang melanjutkan warisan leluhur kita?. Akankah ini punah atau dicuri oleh orang luar seperti halnya Batik Indonesia yang dulunya terkenal?,” keluh Sahat.
Ia mengaku, kesempatan untuk putra-putri Karo sudah ia berikan. Oleh karena itu, Sahat mengharapkan kesadaran masyarakat Karo khususnya putra-putri asli daerah dalam mengembangkan dan mempertahankan warisan asli nenek moyang ini.
-
PARDI SIMALANGO