SIMALUNGUN, SUMUTBERITA.com – Masyarakat adat di Tanah Batak Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun menuding polisi melakukan kriminalisasi terhadap mereka. Kriminalisasi itu disebut sistematis dan terencana.
Fernando Simanjuntak selaku Pemuda Adat Tanah Batak menerangkan, masyarakat adat Sihaporas mengalami kriminalisasi oleh polisi yang diduga didesain oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL). Padahal, kata Fernando, masyarakat hanya berjuang mempertahankan tanah adat mereka dari perusahaan asing.
Ia menilai, kriminalisasi terhadap masyarakat adat Sihaporas bukan semata bentuk penindasan, tetapi juga serangan langsung terhadap identitas dan warisan budaya mereka. Tanah bagi masyarakat adat bukan sekadar tempat tinggal atau sumber penghidupan, tetapi juga pusat dari kehidupan spiritual dan budaya mereka.
“Ketika tanah itu dirampas perusahaan dengan dukungan aparat, hilanglah sebagian dari jiwa mereka. Aksi brutal ini seringkali mencakup intimidasi, kekerasan fisik, penangkapan tanpa dasar hukum yang jelas, dan penahanan sewenang-wenang,” terangnya.
Ia juga menyebut, polisi yang seyogianya sebagai pengayom warga, justru kerap kali diperalat menjadi alat penindas yang merugikan masyarakat adat. Mereka yang berani angkat suara dan memperjuangkan hak-hak mereka, kerap dihadapkan pada ancaman nyata, baik bagi diri sendiri maupun keluarga.
Untuk menghentikan aksi kriminalisasi ini, menurutnya, langkah pertama yang harus dipastikan adalah penegakan hukum yang adil dan transparan. Aparat kepolisian yang terlibat dalam tindakan brutal harus diusut. Jika terbukti bersalah, kata dia, harus ditindak sesuai hukum yang berlaku.
“Pemerintah harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk melindungi hak-hak masyarakat adat dan memastikan bahwa tindakan kekerasan oleh aparat tidak dibiarkan terjadi begitu saja,” ucap Fernando.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa hak-hak masyarakat adat atas tanah mereka harus diakui dan dihormati. Pemerintah bersama perusahaan harus menghentikan segala bentuk perampasan tanah dan memastikan hak-hak tanah masyarakat adat terlindungi.
“Proses pengakuan hak-hak tanah ini harus dilakukan dengan melibatkan masyarakat adat secara langsung dan menghormati adat istiadat mereka,” jelasnya.
Menurutnya, dialog dan mediasi antara semua pihak yang terlibat, baik pemerintah, perusahaan, dan masyarakat adat, juga harus segera dilakukan. Proses ini harus dilakukan secara terbuka dan inklusif. Tujuannya, untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan.
“Mediasi yang baik dapat membantu mengurangi ketegangan dan mencegah terjadinya kekerasan lebih lanjut,” kata dia.
Disamping itu, ia mengungkap bahwa peningkatan kesadaran publik tentang isu ini juga sangat penting. Media massa dan organisasi non-pemerintah dapat berperan besar dalam mengangkat kasus ini ke permukaan dan memberikan tekanan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab.
“Dengan demikian, aksi kriminalisasi yang terjadi tidak lagi bisa ditutupi. Masyarakat luas dapat memberikan dukungan kepada korban. Selain itu, dukungan dari komunitas internasional juga diperlukan,” sebutnya.
“Tekanan dari organisasi internasional dan negara-negara sahabat dapat membantu mendorong pemerintah dan perusahaan untuk menghentikan aksi kriminalisasi dan mencari solusi yang adil. Bantuan teknis dan dukungan diplomatik dapat menjadi faktor penting dalam menyelesaikan konflik ini,” imbuhnya.
Ia juga menyebut, perlindungan terhadap para pembela hak asasi manusia, harus ditingkatkan. Mereka yang berjuang untuk keadilan dan hak-hak masyarakat adat harus diberikan perlindungan hukum dan fisik dari ancaman dan intimidasi.
“Menghentikan aksi kriminalisasi brutal bagi masyarakat adat Sihaporas adalah langkah penting untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian di Tanah Batak. Dengan menghormati hak-hak masyarakat adat dan menegakkan hukum yang adil, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik dan memastikan bahwa warisan budaya dan spiritual Tanah Batak tetap terjaga,” pungkasnya.
Teks foto: Pemuda Adat Tanah Batak, Fernando Simanjuntak. SUMUTBERITA.com/istimewa
PENULIS: RED