KARO, SUMUTBERITA.com – Abetnego Panca Putra Tarigan. Eks Deputi II Kantor Staf Presiden ini adalah anak paling bontot dari 9 bersaudara. Meski terlahir bukan dari keluarga yang susah, namun kisah hidupnya patut diteladani. Karena banyak tantangan yang harus ia lewati sejak kecil.
Abetnego bisa dikatakan, nyaris tak merasakan kasih sayang seorang ayah. Terpaksa kehilangan ayah di usia dua tahun, saat tingkahnya masih sedang lucu-lucunya. Tulang punggung itu meninggal secara mendadak di usia muda. Sejak itu, banyak sekali pergumulan dan tantangan bagi keluarga Abetnego.
“Waktu itu saya masih umur dua tahun. Ibu saya pun hanya ibu rumah tangga, takada kegiatan yang lain,” kenang Abetnego didampingi Edy Suranta Bukit saat menghadiri Podcast Moderamen Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Jalan Kapten Pala Bangun Kabanjahe, Selasa (29/10/2024).
Di tengah peliknya situasi itu, Abetnego, keluarga dan ibunya secara khusus, harus tetap berjuang bagaimana memikirkan agar anak-anaknya tetap bisa mengikuti pendidikan. Tetap bisa berjuang untuk pengembangan diri anak-anaknya. Nande Ginting – ibunda Abetnego – itu pun harus putar otak.
Takada perjuangan yang tak berbuah hasil. Dari kerja keras sang ibunda, Abetnego pun beranjak dewasa dan berhasil menamatkan pendidikan di SMA Negeri 2 Pematang Siantar. Jenjang pendidikannya berlanjut di Jakarta. Institut Bisnis Nusantara (IBN) menjadi tempat Abetnego meraih gelar Sarjana Ekonomi serta gelar Magister Ilmu Lingkungan di Universitas Indonesia (UI).
Abetnego banyak bergelut dalam isu-isu lingkungan dan sumber daya alam. Kecerdasan dan ketekunannya dalam berkarir, sukses mengantarkan dirinya menjadi Direktur Eksekutif Nasional, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) sejak 2012-2016. WALHI adalah organisasi lingkungan yang ternama, terbesar, sekaligus tertua di Indonesia.
Muda, cerdas, cakap dan punya jabatan bergengsi, membuat Abetnego dilirik oleh eks Presiden RI, Ir. Joko Widodo. Usai menuntaskan masa jabatannya di WALHI 2016 silam, Abetnego mengawali tugas sebagai Tenaga Ahli Utama di Kantor Staf Presiden (KSP), hingga akhirnya mendapat kenaikan jabatan sebagai Deputi II.
“Buat saya pribadi, segala sesuatu itu sifatnya sementara. Itu yang saya percayai sampai sekarang. Makanya saya tidak pernah mengeksploitasi, baik kesusahan saya atau pun pada masa senang saya. Nah, tetapi yang saya garis bawahi adalah bahwa setiap momen kehidupan itu harus berarti, baik susah maupun senang,” terang Abetnego.
Kata berarti, ia ilustrasikan: bisa jadi, di saat susah, kita tidak mampu memberikan bantuan berupa uang kepada orang. Namun, kita tetap bisa menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk banyak hal. Ia berpegang: hidupnya harus berarti bagi banyak orang.
“Banyak orang yang nggak tahu, teman-teman sekolah bilang: eh.. kau itu kerja di istana, ya. Kayaknya biasa-biasa aja. Datang ke rumahmu juga, kau masih nyapu halaman, masih bersihkan parit. Bahkan teman-teman bilang: nggak usah deh, nggak usah pura-pura, sok-sok merendah, sok-sok merakyat,” ungkapnya sembari tertawa.
Dalam konteks itu, Abetnego menyadari bahwa segala sesuatu itu bersifat sementara. Namun dibalik kesementaraan itu, baginya, semua momen kehidupan harus berarti untuk banyak orang. Semua pengajaran inilah yang selalu mendapat dukungan dari keluarga dan orang tua Abetnego untuk mengingatkan kita soal jalan kehidupan.
“Misalnya, saya nggak pernah berpikir akan diangkat menjadi pejabat eselon 1 di lingkungan istana dalam usia yang muda. Saya termasuk yang paling muda waktu itu sebagai pejabat eselon 1 di kementerian/ lembaga. Buat saya, itu bukan momen untuk kita bermegah diri. Saya yakin bahwa dibawah matahari ini, segala sesuatunya itu sementara,” pungkas Abetnego.
Edy Suranta Bukit: Kerja Keras, Berkat Tuhan ras Kejujuran
Jika Abetnego Tarigan terlahir tanpa mengecap kasih sayang ayah, kenyataan lebih pahit justru harus dirasakan oleh Edy Suranta Bukit. Di usianya yang masih tiga tahun, Edy harus menerima kenyataan perceraian kedua orang tuanya. Ya, Edy berasal dari keluarga broken home.
“Kalau diingat-ingat, sedih pendeta. Umur tiga tahun aku, bapak dan mamak bercerai. Makanya aku sama Iting (nenek). Sampai kelas 6 SD, aku sama Iting tinggal di Tigapanah. Kami dua orang, adekku waktu itu umur dua tahun,” kenang Edy terenyuh dengan mata berkaca-kaca kepada host Podcast Moderamen GBKP.
Edy yang bertumbuh, mulai duduk di bangku sekolah dasar. Saban hari, ia harus membantu sang nenek untuk berbagai pekerjaan. Namun, ia kembali harus menerima kenyataan pahit. Iting-nya dipanggil Yang Maha Kuasa saat ia kelas 6 SD. Ia pun tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Beruntung, ibu tirinya sayang sama Edy.
“Singkat cerita, setelah dewasa, aku menikah. Kami tinggal di Medan, di Simalingkar, Jalan Bawang 5. Waktu itu, aku sama istri sempat bekerja di pajak pagi untuk biaya hidup. Dulu ada jemaat GBKP Sei Padang, Pdt. Sadakata. Dia itu impalku. Dia kasi kami kerjaan di pajak itu,” ungkap Edy.
Kegigihan dalam bekerja serta kemampuannya melihat berbagai peluang bisnis, secara perlahan mengakhiri situasi sulit hidup Edy bersama sang istri. Dari yang bukan apa-apa menjadi luar biasa. Edy kini jadi pengusaha sukses. Namun kesuksesan itu taklantas membuatnya tinggi hati.
Edy adalah sosok yang dermawan. Ia kerap membantu masyarakat yang membutuhkan. Jiwa sosialnya banyak tercurah dalam pelayanan gereja sejak ia mengisi jabatan penting di BPP Mamre GBKP 15 tahun silam. Sempat menjabat sebagai Bendahara Umum, Edy akhirnya dipercaya menjadi Ketua BPP Mamre GBKP.
“Jalan hidup kami cukup pahit pendeta. Semua dari nol. Itulah kenapa tadi sempat mau jatuh air mataku. Sebenarnya banyak yang mau diceritakan. Jadi yang kulihat, apa yang kami rasakan sekarang, aku nggak pernah berpikir bisa seperti ini. Semua yang kurasakan ini karena kasih Tuhan,” tuturnya.
Perjalanan hidup yang pahit melatari Edy untuk menelurkan sebuah buku. Ia juga mendapat saran dari koleganya agar bersedia menuangkan kisah perjalanan hidupnya dalam sebuah buku. Tepat di usia 50 tahun, ia berhasil menerbitkan sebuah buku berjudul: Kerja Keras, Berkat Tuhan, ras Kejujuran.
“Pesan saya untuk generasi muda di Karo, tetaplah bekerja keras dan harus utamakan kejujuran. Tapi dari semua itu, kita harus tetap berserah kepada Tuhan. Tuhan akan kasi jalan untuk kita. Jangan pernah menyombongkan diri. Karena apa yang ada pada kita sekarang, semua itu adalah titipan Tuhan,” ucap Edy.
Di dalam perjalanannya mengambil bagian dalam kontestasi politik di Pilkada Karo 2024, Edy menyebut hal itu sebagai langkah untuk terus memberikan pelayanan kepada masyarakat. Jika dipercaya masyarakat untuk memimpin Karo lima tahun kedepan, Edy menyebut akan menerapkan prinsip Kerja Keras, Berkat Tuhan, dan Kejujuran.
“Dalam memimpin juga kita tidak bisa sewenang-wenang. Jangan berharap imbalan. Kita harus kerja keras, jujur dan tetap mengandalkan Tuhan sesuai dengan sifat pelayanan. Karena dalam pelayanan itu, kita harus siap meling, latih, keri. Artinya: siap dipersalahkan, siap lelah, dan siap habis. Kami yakin Tuhan akan beri kesempatan bagi kami untuk memimpin Tanah Karo,” pungkas Edy.
Keterangan foto: Abetnego Tarigan dan Edy Suranta Bukit mengungkap kisah perjalanan hidup yang inspiratif pada Podcast Moderamen GBKP. SUMUTBERITA.com/istimewa
PENULIS: RED