LAPORAN : DOLOK – KISARAN
Direktur Executive LSM Forum Demokrasi ( Fordem ) Sumut Timbung Pandiangan SH ajukan surat penundaan Pengalih Fungsian Kawasan Hutan di Sumut kepada Menteri Kehutanan ( Menhut ) dan Ketua Komisi IV DPR RI dengan No 033/LSM-FD/SP/VII/2012 dalam Hal Penundaan atau Penolakan Usulan Perubahan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara Dalam Perubahan/Review RTRWP Sumatera Utara Khususnya Kabupaten-Kabupaten Area Pekebunan. ” Kita sudah surati Kemenhut dan Ketua Komisi IV DPRI agar di lakukan penundaan Rencana Tata Ruang Wilayah Peruntukan ( RTRWP ) karena hanya mementingkan sebelah pihak terutama pihak perusahaan yang menduduki kawasan Hutan di Sumut, ” kata Timbung Pandiangan SH, Rabu ( 8/8).
Dalam siaran Pers nya, Fordem Sumut memaparkan sejumlah kajian sebagai berikut Berdasarkan : UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, PP No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan. Berdasarkan informasi data yang kami temukan bahwa Kronologis dan Progres Review (Revisi) RTRWP Provinsi Sumatera Utara, Gubernur Sumatera Utara mengusulkan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan di wilayah Prov. Sumatera Utara, sebagai berikut :
Usulan I (Pertama) Gubernur Sumut No. 522/7585 tanggal 7 Oktober 2009, dengen rincian usulan sbb :
Perubahan Peruntukan ±655.820,87 Ha.
Perubahan Fungsi ±363.684,59 Ha.
Penambahan Kawasan ± 43.395,63. Ha. Total = + 1.062.901,09 Ha
Masih Menurut Timbung Pandiangan SH, pada tanggal 9 September 2011 sesuai suratnya No. 522/8939 Gubernur Sumut melakukan revisi atas usulan I, dari seluas 1.062.901,09 Ha menjadi 1.157.331 Ha, dengan demikian terdapat pengurangan kawasan hutan Sumatera Utara dari kawasan sebelumnya, seluas 3.687.011 HA (SK.44/ Menhut-II/2005) menjadi 2.529.680 Ha (35,47 %). Revisi tersebut didalilkan untuk mengakomodir usulan yang bersifat krusial dari Kabupaten yang tidak yang tidak terusulkan sebelumnya (usulan I). Bahwa usulan Rencana tata ruang Sumatera Utara (poin 1) pada saat ini sedang ditelaah Kementerian Kehutanan guna mendapat pengesahan, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan DPR RI.
Berdasarkan kajian investigasi LSM Fordem dibeberapa titik kawasan, dari luasan 1.157.331 Ha yang diusulkan perubahan, sebahagian diantaranya (khususnya Kabupaten-kabupaten area perkebunan) supaya dilakukan penundaan atau penolakan pengesahan, yaitu dengan alasan-alasan sebagai berikut :
Dalam usulan revisi khususnya Kabupaten-kabupaten area perkebunan, seperti : Langkat, Asahan, Labuhan Batu (Labura, Labusel) dan Tapanuli Selatan (PaLuta, Palas, Madina), terindikasi sebagai upaya legalisasi(pemutihan) terhadap kebun-kebun milik para pengusaha atau oknum-oknum tertentu yang selama ini telah beroparasi secara illegal, sebab kawasan hutan yang diusulkan perubahan dimaksud pada umumnya telah beralih fungsi menjadi perkebunan (kelapa sawit dan karet).
Kawasan hutan yang semestinya layak di usulkan perubahan, seperti lahan-lahan pertanian masyarakat dan perkampungan yang sejak dahulu telah diduduki/dihuni masyarakat tidak diusulkan perubahan. Misalnya Desa Air Hitam Kabupaten Labuhan Batu Utara tidak ikut diusulkan, pada hal areal-areal kebun di sekitarnya milik para pengusaha tertentu diusulkan perubahan kalaupun ada perkampungan yang diusulkan perubahan menurut cendrung kebetulan saja karena disekitar perkampungan tersebut terdapat kebun-kebun milik pengusaha-pengusaha atau oknum-oknum tertentu, sehingga Revisi Usulan Perubahan Kawasan Hutan Provinsi Sumatera Utara dalam RTRWP khususnya di Kabupaten-Kabupaten yang memiliki areal perkebunan berpotensi menimbulkan dampak dan/atau risiko daya dukung dan daya tampung lingkungan serta tidak akan membawa manfaat terhadap keselarasan aspirasi pembangunan nasional dan pembangunan daerah;
Pada umumnya kawasan hutan yang masih tersisa (tidak masuk usulan perubahan) khususnya Kabupaten Asahan Kabupaten Labuhan Batu (Utara dan Selatan), dan Kab. Tapanuli Selatan, bukan lagi kawasan hutan yang sebenarnya, hanyalah “HUTAN PETA”, karena dalam faktanya dilapangan kawasan hutan yang masih tersisa dominan perkampungan dan lahan-lahan pertanian masyarakat, sehingga hutan tersisa tersebut dimaksudkan guna memenuhi luas kawasan hutan minimum (30 %) dalam 1 (satu) propinsi.
Usulan perubahan cendrung tertutup kepada masyarakat, dimana penyusunan rencana perubahaan penataan ruang tidak memberikan akses yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk mendapatkan informaasi, kondisi ini bertentangan dengan UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, pada Pasal 64 (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain, melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang;
Ada juga yang memang mengusulkan wilayah hutannya perlu diubah karena dibutuhkan untuk pengembangana kawasan seperti Kabupaten Pakpak Bharat di mana 80 persen wilayahnya merupakan hutan.
Masih dalam uraian Fordem , Timbung memberikan Saran dan Pendapat : Perlu dilakukan penundaan atau penolakan pengesahan RTRWP Sumatera Utara khususnya Kabupaten-kabupaten area perkebunan dan terlebih dahulu dilakukan audit lingkungan atau kajian lingkungan hidup strategis terhadap titik-titik lokasi kawasan hutan yang diusulkan perubahan. Perlu dikaji ulang, Amar KEENAM Kepmenhut No. SK.323/Menhut-II/2011 Tentang Penetapan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru Pemanfaatan Hutan, Penggunaan Kawasan Hutan Dan Perubahan Peruntukan Dan Areal Penggunaan Lain, sebab amar keenam tersebut telah memberi payung hukum bagi pejabat pengambil keputusan baik di pusat maupun di daerah, sehingga membuka celah bagi pelaku usaha perkebunan illegal yang telah menduduki titik-titik kawasan hutan dimaksud.
Fakta-fakta yang terjadi diberbagai daerah khususnya di Propinsi Sumatera Utara, penguasaan tanah luas bagi oknum-onum pengusaha perkebunan tertentu tidak akan pernah puas dengan luas areal kebun yang dimilikinya, mafia tanah kian tahun semakin meningkat, hukum kita hingga kini belum mampu mengungkap para mafia tanah yang kerap melakukan intimidasi secara terang-terangan maupun secara terselubung kepada masyarakat petani (ekonomi lemah).
Ketentuan UUPA No. 5 Tahun 1960, Pasal 15, dinyatakan dengantegas : “Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah”. Sehingga titik-titik kawasan hutan usulan perubahan, khususnya di Kabupaten-kabupaten/Kota area perkebunan perlu dilakukan penundaan pengesahannya atau ditolak dan selanjutnya pihak Kementerian Kehutanan dan Pemerintah Daerah menjadikan kawasan hutan usulan perubahan dimaksud sebagai Program Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan maupun Hutan Desa (HD) guna memberi akses lahan kepada masyarakat ekonomi lemah, khusunya masyarakat yang tinggal di dalam atau disekitar kawasan hutan.
Para pejabat pengambil keputusan di Pusat dan di Daerah agar selektif mengambil kebijakan menyangkut pelepasan kawasan hutan, karena pada umumnya lokasi yang diusulkan perubahan atau pelepasan sudah ada kelompok-kelompok tani penggarap lahan, dengan modal Izin Lokasi saja pihak pengusaha sudah berani merampas paksa lahan garapan masyarakat. Dewasa ini sikap pengusaha berduit dalam membebaskan lahan garapan acap membenturkan kelompok tani penggarap dengan kelompok tani bayangan bentukan pengusaha tertentu.
Kedekatan hubungan antara aparat birokrasi dengan pengusaha, sehingga para pengusaha dapat menitipkan kepentingannya dalam penerapan kebijakan, akibatnya penerapan kebijakan seringkali mengabaikan pertimbangan yang menyangkut nilai-nilai mendasar, seperti nilai bagi kelestarian lingkungan, kesejahteraan rakyat di dalam dan sekitar hutan secara adil, dan bagi kebaikan publik pada umumnya.
Birokrasi pemerintah yang memiliki fungsi pelayanan publik dan berperan dominan dalam pengambilan keputusan pembangunan harus dapat menempatkan pada posisi netral diantara berbagai kepentingan yang ada. Birokrasi pemerintah tidak diperbolehkan sebagai alat untuk mencapai tujuan dari kelompok kepentingan tertentu, melainkan diabdikan bagi kebaikan publik, khususnya menjalankan misi mensejahterakan rakyat.
Kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan yang didominasi oleh kelompok kepentingan pengusaha, tidak membawa kebaikan publik dan cenderung merusak lingkungan sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk rumusan kebijakan dan institusi birokrasi, telah dimasuki oleh sejumlah kepentingan kelompok pengusaha tertentu yang mengatsanamakan kepentingan pembangunan, mengurangi pengangguran dll, namun dalam kenyataan tidak sesuai dalam pelaksanaan.
Hal yang sangat perlu diwaspadai, pada umumnya pengusaha pemegang izin usaha perkebunan maupun yang belum memiliki izin berdasarkan fakta administrative dan fakta dilapangan cendrung melakukan penipuan luas atas tanah yang dikuasainya, kondisi ini akan berdampak pada : kerugian dari sector perpajakan dan retribusi lainnya, hilangnya akses masyarakat untuk memiliki lahan, dll, sehingga kenyataan yang terjadi adalah “rakyat miskin di Negeri yang sumber daya alamnya sangat makmur”.
Hal senada juga di ungkapkan oleh Direktur Executive Solusi Rimba Nusantara ( SRN ) Jakarta saat di hubungi via Selular mendukung sepenuh nya atas surat yang di Usung Fordem Kemenhut dan Ketua Komisi IV DPR RI. ” Kita sependapat dengan Timbung, sebab apabila ini di biarkan maka Hutan di Sumut akan punah dan beralih fungsi yang di peruntukan untuk kepentingan dan ke untungan para pengusaha kapital, ” tegas Indra Minka.