Menguak Kisah ‘Ayam Kampus’ Kota Medan

banner 468x60

EKONOMI, alasan yang paling berperan untuk memicu  seorang  mahasiswi terjun menjadi ‘ayam kampus’. Tidak sedikit orang menghabiskan malam di tempat-tempat dugem. Atau nongkrong di warkop Harapan di Jalan Sudirman Medan. Atau kongkow-kongkow di coffe shop Sun Plasa hanya untuk melihat cewek-cewek ber-rok pendek mempertontonkan paha mulusnya.

ayam kampusApa yang ada dalam benak Anda saat itu? Hmm.. bisa bermacam-macam tentunya.

banner 336x280

Belum cukup hanya dengan melihat di tempat yang memang tempatnya untuk orang tebar pesona itu? Coba datang ke beberapa kampus di Medan. Tidak sulit bagi Anda untuk menemukan fakta, bahwa tempat yang semestinya menjadi arena untuk berlomba-lomba menambah ilmu dan wawasan, kini ternyata telah berubah wajah!

Sebagian besar protipe mahasiswa yang terlihat adalah mereka-mereka yang lebih mengedepankan fashion, musik, dan pesta. Menemukan cewek modis menyandang tas kecil dengan pakaian yang membuat jakun pria naik turun, jauh lebih mudah ketimbang menemukan mahasiswi dengan wajah letih menjinjing diktat.

Mahasiswi sekarang lebih punya banyak waktu untuk shoping baju-baju dan fashion terbaru ke mall atau plasa yang semakin banyak bertebaran di kota ini. Mahasiswi semakin punya waktu untuk menonton televisi yang hampir dari pagi ke pagi lagi terus mempertontonkan kemewahan dan keglamouran. Dari sana mereka belajar banyak bagaimana menjadi wanita yang enak dilihat dan menggairahkan.

Sesungguhnya budaya hedonisme itulah yang lebih banyak ambil peranan untuk melahirkan ‘ayam kampus’. Beberapa pengakuan mahasiswi ayam kampus yang menampakkan gejala ke arah itu.

Seperti Santi (21), mahasiswi semester tiga di salah satu kampus di Padang Bulan ini juga mengaku doyan mengisi waktu luangnya ke diskotek atau pub. Bahkan, hampir semua tempat hiburan malam di Medan pernah dijambaninya.

Dananya? Apalagi kalau bukan dari pria-pria iseng yang berasal dari kalangan pengusaha maupun pejabat yang dia temani. Untuk menemani mereka enjoy menikmati gemerlap malam, Santi mengaku mengenakan tarif Rp500.000 per malam, di luar makan dan minum.

“Kalau mau lebih dari sekadar ditemani, bayarnya berbeda,” katanya.

Santi memaparkan, rata-rata orang yang ditemani tidak cuma menuntut sekadar ngobrol. Sebagian besar malah ada yang meminta dilayani di atas ranjang. “Kalau lagi mood, nggak jadi masalah. Pas lagi bete, sering saya tolak. Alasannya, macam-macamlah. Mulai dari mau ujian sampai mau pulang kampung. Pokoknya biar nolak, jangan sampai membuat mereka kecewa,” ungkap Santi yang mengaku sering keluar masuk hotel berbintang bersama tamunya.

Namun, menurut Santi, penolakan yang dilakukannya terkadang tak lebih untuk menaikkan tarif!

Olala, ini pelajaran berharga bagi pria-pria pemburu ayam kampus. Santi mengaku, semakin dia menolak, biasanya si pria tersebut akan terus penasaran, dan akan semakin santer melakukan pendekatan. “Kalau sudah begitu, aku bisa minta bayar mahal,” paparnya sembari tersenyum manis.

Lainnya halnya bagi Yeni (24). Apa yang dilakukannya tak lebih dari tren anak muda. Sebagai gadis metropolis, katanya, selalu punya cara untuk melepaskan gejolak jiwa mudanya melalui fashion dan gaya pergaulan. Diakuinya, tren itu tak bisa dilepaskan dari maraknya siaran televisi yang mempertontonkan gaya hidup hedonis layaknya selebritis.

“Kalau saya sih mau senang-senang aja. Pengaruh tivi, mungkin ada, tapi entahlah,” pungkasnya. ***

banner 336x280